IMAM DIOSESAN DI TENGAH ARUS ZAMAN
(Inti Sari Ret-Ret Imam Unio Keuskupan Denpasar)
Oleh: RD Eman Ano
Selagi bumi tak berhenti berputar mengelilingi matahari, maka dunia dengan ruang dan waktu yang menghiasinya takkan pernah berhenti untuk berubah-ubah. Maka yang kekal adalah perubahan menjadi kebenaran yang tak terbantahkan sebagaimana telah dikumandangkan Herakleitos, filsuf kuno, yang pemikirannya itu malah tak pernah kuno.
Bumi atau dunia dengan ruang dan waktu yang berubah-ubah itu kita kategorikan sebagai zaman. Umumnya oleh Filsafat, zaman itu terbagi atas kuno-modern-postmodern dan kontemporer. Apapun bentuk dan kondisi zaman yang ada, yang pasti ada perubahan di setiap zaman. Dan dalam proses menuju perubahan selalu ada arus yang bermain, yang kadang bergerak cepat-lambat, pasang-surut. Dalam arus zaman itulah “the special calling”, para imam diosesan berkiprah dan berjuang menabur dan mewartakan benih Kerajaan Allah yang telah dimulai oleh Sang Guru Imam Agung Yesus Kristus. Pertanyaan mendasar di sini yakni: Mampukan para imam Diosesan mendayung dan bergerak maju dalam arus zaman yang ada? Dengan mengusung kekuatan iman bahwa “bagi Allah tidak ada yang mustahil”, maka mampu dan bisa merupakan jawaban yang dapat diberikan.
Sebagai Para Imam Diosesan di Keuskupan Denpasar, yang mencakup Bali dan NTB, dengan sikon yang ada telah dan akan selalu memberikan arus zaman yang menantang dan musti dihadapi untuk dilalui dengan dan bersama Yesus Sang Guru. Maka, ret-ret kali ini yang mengambil tema IMAM DIOSESAN DI TENGAH ARUS ZAMAN, sebenarnya mencerminkan keseriusan dan kesanggupan kami untuk siap berjuang dan bergulat melintasi arus zaman yang ada untuk menabur-menumbuhkembangkan (atau dalam bahasa Sinode III Keuskupan Denpasar), memancarkan wajah Kristus dalam arus zaman yang sedang dan terus bergelora di Keuskupan ini.
Imam Diosesan: Butuh kerohanian dan pembebasan bagi Perubahan
Ret-ret UNIO Keuskupan Denpasar yang berlangsung di Batu Riti-Bedugul, pada, 31 Agustus – 5 September 2015 dibuka dengan Perayaan Ekaristi Kudus, yang dipimpin langsung oleh Pendamping Ret-Ret, Rm. Dr. Dominikus Gst Bgs Kusumawanta, Pr. Pastor Paroki Gianyar, yang pada tahun ini merayaan perak imamatnya, melalui kotbahnya menantang dan mengajak para imam untuk mengintrospeksi diri sambil bertanya: Apakah yang menjadi branding, kekhasan utama di Keuskupan kita, yang dengan mengacu padanya kita bergerak dan berjuang sebagai agen pastoral di Keuskupan ini pada zaman ini? Refleki atas pertanyaan tersebut dengan berinspirasikan Injil Lukas 4 yang bagi beliau dipandang sebagai revolusi sosial Yesus, memunculkan tiga kebutuhan berikut: Pertama, Imam Diosesan perlu kerohanian untuk perubahan; Kedua, perlu pembebasan untuk perubahan dan Ketiga, perlu selalu menjaga persekutuan (communion) dengan Tuhan, sesama dan umat untuk memperjuangkan perubahan.
Imam itu “A person set apart of God”
Pergumulan mendalami tema ret-ret kali ini, diawali dengan membangkitkan kembali refleksi essensial dari eksistensi seorang imam. Bahwa panggilan imam itu bermula dari kerinduan, keinginan Tuhan karena cintaNya untuk pribadi terpanggil. “Mari, ikutilah Aku” (Mrk. 2:14). Tuhan yang punya inisiatif. Menjadi imam itu pilihan Tuhan (Luk. 6:13), penetapan Tuhan, penetapan Illahi dan berlaku SELAMANYA (karakter infilibilitas:tak terhapuskan). Penetapan itu internal, bukan eksternal, dari dalam Kehendak Tuhan. Panggilan itu khusus dari Allah karena kita menjadi pribadi yang istimewa. Imam itu “A person set apart of God” (Luk 6:12-16). Imam terpanggil pada kekudusan dan kemuliaan Allah. Imam itu reperesanti dari Sang Guru kita Yesus Kristus. “Disciple attached to the master”. Tugas imam yakni berdoa. “Prayer is breath of the disciple life”. Lalu mewartakan Sabda Tuhan. “Listen to the world of the Master”.
Disposisi Imam di Tengah Arus Zaman
Zaman ini, dengan arus dan pergerakannya yang begitu cepat telah memberikan perubahan yang signifikan. Perubahan itu, bagi para imam yang juga berada dan berjuang bagi menabur dan menumbuhkembangkan Kerajaan Allah di dunia menjadi tantangan yang menarik. Saya lalu teringat dengan sebuah istilah theologi dogmatic yang pernah dikemukakan oleh dosen favorit saya waktu kuliah di STFK Ledalero, yang hemat saya bisa melukiskan situasi itu: “Tremendum et fascinosum”: sebuah situasi yang menakutkan tapi menarik dan sayang kalau tidak digenggam dan digeluti. Arus zaman ini, dengan perubahan yang menjadi tantangan itu memang di satu sisi menakutkan, tapi di sisi yang lain disayangkan untuk tidak digenggam atau dibiarkan berlalu tanpa kita para imam “menceburkan” diri atau “bertolak ke kedalaman” untuk mengendus, menemukan dan menebarkan benih Kerajaan dan kemuliaan Allah di dalamnya. Imperatif Yesus kepada para muridNya untuk pergi, kamu diutus juga mengandung arti bahwa kita perlu pergi, masuk dan bergulat dalam arus zaman yang sedang berkembang dan menggelora untuk “menemukan” dan “menampakan” keselamatan dan kemuliaan Allah bagi dunia.
Para Imam Diosesan merupakan imam yang telah-sedang dan akan selalu diutus dalam arus zaman yang sedang terjadi. Salah satu identitas zaman ini yakni adanya wajah lesu dari pribadi-pribadi yang “lelah” memperjuangkan kehidupan dalam zaman yang serba kompetitif dan bergerak begitu cepat, yang oleh Arbi Sanit, dalam bukunya: Mega trend 200O, dilukiskan sebagai sikon yang bergerak begitu cepat, dan kita manusia lari terbirit-birit mengejar ketertinggalan yang terjadi. Pertanyaannya, bagaimana para imam memposisikan diri dalam arus zaman yang terjadi seperti itu?
Imam, dalam sikon, pergerakan dan perubahan zaman seperti apapun bentuknya, tetap menjadi “the special one”, “a special calling of God” dan bahkan menjadi “the sign love of God”. Imam tetaplah pribadi istimewa, yang dipanggil khusus oleh Allah untuk menjadi tanda dan bukti cinta Allah yang tak terbatas bagi dunia. Oleh karena itu, dalam arus zaman yang menciptakan banyak kelesuan, imam terus menampilkan diri sebagai Pribadi pemberi semangat dan harapan keselamatan Allah bagi dunia dan manusia di dalamnya. Meminjam istilah Paus Fransiskus, sangat diharapkan agar imam tidak menampilkan “wajah lesu seperti orang yang baru pulang dari kuburan”.
Posisi imam bukanlah jabatan administratif yang lebih banyak bergulat dengan hal-hal administrasi, nota-nota, dan lain-lain. Imamat juga bukan “jabatan elitis”, yang seperti para politisi sibuk berjuang untuk “mengamankan” posisi yang dianggap nyaman dan mapan. Dengan mengacu pada tulisan Father Barron (Amerika), Rm Wanta, bahkan dengan lugas berbicara alasan mengapa umat Katolik meninggalkan Gereja. Salah satunya karena para imam tampil “elitis”, mengejar jabatan dan angkuh. Imam merupakan pelayan public yang spiritual. Yang lebih mengutamakan pelayanan rohani, pengobat kerinduan rohani umat untuk berjumpa dan mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya. Karena itu, imam Perlu Hospitalitas Kristiani dalam pelayanan: menerima siapapun tanpa batas, menjumpai umat, berada bersama umat, menimba pengalaman hidupnya dan bahkan perlu menggali dan menemukan “religiositas lokal” yang mereka miliki. Para imam perlu terus belajar dan mendalam “Theologi Kontekstual” dalam dan untuk menunjang pelayanan yang mumpuni.
Sukacita Injil Dalam Pelayanan Imam
Imam itu tokoh publik yang diharapkan menjadi “public figure” yang tidak gemar menebar pesona dan bekerja untuk “populiratas diri” dan pengakuan public. Imam perlu berjuang untuk menjadi “Happiness Person”, pribadi yang menampakkan sukacita dan kegembiraan yang sekaligus membangkitkan sukacita dan kegembiraan bersama. Oleh karena itu, imam perlu mendalami dan memaknai kembali hal yang penting dari karya pewartaannya yaitu “Sukacita Injil”. Dengan mengacu pada Ensiklik Paus Fransiskus tentang “Evangelii Gaudium”, para imam diharapkan untuk menjadi simbol – sumber dan saluran sukacita Injil itu kepada manusia dan dunia. Maka menyiapkan kotbah dengan baik, terus menyatukan diri dengan Sabda Allah dan “mendagingkan” Sabda dalam kehidupan merupakan kebajikan spiritual yang perlu terus dipupuk untuk dimiliki para imam. Kesuksesan pewartaan kita terletak pada sukacita yang muncul setelah orang mencicipi “Santapan rohani (Sabda Allah) yang telah kita wartakan dan tawarkan kepada umat dan dunia. Sukacita itulah yang pernah dinikmati para murid setelah sukses dalam karya perutusannya (Luk 10:17). Sukacita itulah juga yang dialami oleh Yesus dalam doanya di Hadapan Bapa setelah melihat dan mengalami kesuksesan para MuridNya (Luk 10:21).
Sukacita Injil bukanlah hegemoni dan milik kelompok tertentu. Hal itu merupakan anugerah bersama yang perlu dimiliki oleh sebanyak mungkin orang yang dijumpai. Maka Sukacita Injil itu perlu diwartakan dan ditawarkan ke mana-mana. “Marilah kita pergi ke tempat lain…”(Mrk 1:38:), yang merupakan ajakan Yesus kepada para mutidNya, merupakan tanda dan bukti akan hal itu. Para imam perlu memiliki sikap “legowo”, sportif untuk siap diutus ke mana saja ia ditempatkan. Maka “mencintai zona nyaman” merupakan sikap yang tidak cuma tidak bijak bagi seorang imam, tapi secara spiritual mengungkapkan “ketidaktaatan” pada ajakan dan imperatif Sang Guru, Yesus Kristus. Imam merupakan “The Happiness Person of God”, pribadi yang menampakkan dan memperjuagkan Sukacita Allah dalam pewartaan Injil di tengah arus zaman yang sedang berkembang.
Mengobarkan Imamat Untuk Pelayanan
Imam bukanlah Malaikat. Juga bukan superman. Imam tetaplah manusia yang terikat dengan kemanusiawian yang total. Oleh karena itu, akan ada saatnya, semangat imam itu lesu dalam pelayanan. Dalam kondisi seperti itulah, imam butuh penopang, butuh “supurter” untuk membangkitkan kembali semangat yang telah lesu. Intervensi Allah dengan kekuatanNya sangat dibutuhkan dalam hal ini. Namun demikian, spirit para rekan imam dan bahkan umat dalam hal ini sangatlah perlu.
Ret-ret Imam UNIO Denpasar kali ini, tidak cuma menghadirkan Pendamping Imam. Juga hadir seorang awam yang sangat beriman dan lumayan bergaul dan bergulat dengan keberadaan dan pelayanan para imam. Dia seorang “penjahit” yang juga menjadi “guru” Sekolah Evangelisasi di Keuskupan Semarang. Namanya Vinsensius Cahyono Santoso.
“Romo itu peka, kami sih pekok”. Inilah salah satu komentar beliau tentang keberadaan Imam. Bahwa imam itu pribadi yang peka. Reaktif dan responsif. Dan yang paling utama, dari seorang imam, menurut beliau yakni kepekaan terhadap bisikan Suara Allah lewat SabdaNya dan kepekaan untuk membaca-mengerti dan memahami sikon umatnya dan dunia. Imam sangat diharapkan untuk mencintai Sabda Allah dan membagikan Sukacita Allah dalam Injil lewat pewartaannya. Dari pihak umat, sebenarnya yang sangat dibutuhkan dari imamnya itu adalah santapan rohani, pewartaan Sabda yang memikat, yang membuat umat itu “jatuh cinta” pada Tuhan. “Jatuh cinta pada Yesus dulu baru pengetahuannya menyusul. Ini penting to umat kita saat ini”, demikian beliau berharap.
Sebagai wakil dari umat, beliau berharap dan terus berjuang untuk mengobarkan semangat para imam dalam menghargai imamatnya dan terus mengabdi dalam karya perutusan sebagai imam. Bagi para Imam, beliau amat berharap agar terus responsif, reaktif dan kreatif dalam menyentuh hati umat untuk mencintai Tuhan dan SabdaNya. “Yesus menyentuh/menaklukkan hati para murid dengan cara yang berbeda-beda, sangat PERSONAL, menurut karakter dan kebutuhan tiap-tiap orang. Maka kita tidak dapat memaksakan pengalaman proses iman kita, sebagus apapun itu, kepada orang lain, dan sebaliknya mau menerima dengan penuh penghargaan pengalaman orang lain dan membantu menumbuhkannya”. Sukacita Injil hendaknya menjadi karakter dan identitas para imam dalam pewartaan. Karena bila orang sedang bersukacita, ia akan melakukan apapun bagi Tuhan dan Gereja. “Kalo sudah ada sukacita, orang akan rinduuuu…..akan selalu mau berbagi. Saya itu bahagia saat melihat orang yang sangat sederhana tapi penuh sukacita. Aura sukacita itu “nyetrom”, demikian pa Vinsen mengakui.
Relaksasi dan Regenerasi
Ret-ret yang dilalui selama kurang lebih sepekan ditutup dengan dua acara yang sangat penting bagi UNIO Keuskupan Denpasar. Pertama, “Perjamuan Malam Penutupan Ret-ret” dan Kedua, “Pemilihan Kepengurusan Baru UNIO” untuk Periode 2015 – 2018. Yang pertama sekedar untuk relaksasi: pemulihan tenaga usai pergumulan rohani selama ret-ret (yang diisi dengan pemaparan, refleksi dan sharing), dengan “gala dinner” dan rekreasi bersama dengan segenap rekan Imam, plus Komunitas Karmel di rumah Ret-ret dan Teman-Teman Paduan Gamaliel Sonora yang hadir dalam rangka ibadat Taise di Malam Penutupan Ret-Ret. Sedangkan, Yang Kedua, untuk proses Regenerasi: peremajaan kepengurusan UNIO. Dengan formasi dari yang periode sebelumnya: Ketua: RD Evan Dewantoro (RmVenus), Sekretaris: RD Sebast Yordan Ado (Rm Yomi) dan Bendahara: RD Agus Sugiarto, berestafet ke formasi baru: Ketua: RD Evan Dewantoro (RmVenus), Sekretaris: RD Martinus Emanuel Ano (Rm Eman) dan Bendahara: Sebast Yordan Ado (Rm Yomi). Viva UNIO Keuskupan Denpasar. Sukses selalu memancarkan wajah Kristus di tengah arus zaman Keuskupan yang sedang menantang kita.
—***—